Sabtu, 03 Desember 2011

Wardatul Ilmiah: Analisis Isi


LAGI, SOAL PLAGIASI
Senin, 23-Mei-2011, 09:31:49
Oleh :  Firman Venayaksa Dosen Untirta dan Tim Teknis Pengembangan Budaya Baca, Kementerian Pendidikan Nasional.
Kehidupan manusia, selain berkehendak menjadi khalifah di muka bumi ini adalah berkehendak untuk dikenang. Tidak salah jika Chairil Anwar di dalam sajak “Aku” menegaskan posisi ini “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.”
Dengan menulis puisi hal itu kini terbukti. Dengan menulis karya-karya yang monumental, hingga saat ini ia dikenang sepanjang masa. Jelas sudah bahwa menulis merupakan hal yang paling mungkin untuk melanggengkan umur manusia yang berbatas itu. Umur Chairil bahkan bisa lebih dari seribu tahun, menjadi panjang, karena karya-karyanya terdokumen­tasikan dalam bentuk tulisan sehingga bisa dikenang oleh pembacanya.

Gutenberg dan Internetisasi
Disinilah kekuatan sebuah artefak tertulis yang tidak mungkin dimiliki oleh budaya lisan. Apa lagi ketika Johannes Gutenberg pada tahun 1450-an menciptakan alat cetak sehingga tulisan menjadi lebih abadi dan diproduksi secara masif. Pada titik inilah ledakan informasi menggelegar dengan hebat di Eropa. Zaman Renaisans menjadi lebih dahsyat. Proses transformasi ilmu pengetahuan yang sangat cepat dan tidak terelakkan men­jadikan manusia-manusia pada zaman itu (termasuk para aka­demisi di dalamnya) lebih am­bisius untuk menciptakan pene­muan-penemuan yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya. Wajah duniapun berubah.
Saya berani mengatakan bahwa kondisi pada zaman Renaisans, terjadi kembali detik ini ketika internet mewabah di hampir pelosok dunia. Apa yang terjadi di kutub utara, dalam hitungan detik bisa diketahui di kutub selatan. Akses informasi menjadi sangat mutakhir sehingga siapa­pun yang tak hendak terlindas oleh zaman seyogianya mesti terlibat menjadi bagian di dalam­nya. Jika dulu para akademisi mendatangi perpustakaan untuk mengakses ilmu/referensi, maka sekarang ini, dengan mengakses internet, perpustakaan digital sudah berada di depan mata yang berisi jutaan informasi keilmuan dan siap diunduh kapanpun kita berkehendak.
Namun proses koneksi-infor­masi semacam ini tak bisa lepas dari kendala. Dengan mudahnya kita mendapatkan informasi, dengan mudah pula kita meng­klaim sesuatu yang mungkin bukan milik kita. Pada akhirnya istilah plagiat di kalangan akademisi kian dekat di telinga. Semenjak zaman Gutenberg hingga internetisasi kini, proses plagiasi justru kian mewabah. Para akademisi yang diidentikkan dengan idealisme, menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan moralitaspun bobol. Malah mereka menjadi bagian yang sering terkena cap plagiat. Hal ini menjadi sangat menggelikan.
Produk Hukum
Atas penghormatan dan perlin­dungan terhadap Hak Cipta, Negara kita telah ambil bagian dengan membuat Undang-Undang Republik Indonesia No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang memuat 78 pasal.
Secara umum, Hak Cipta lebih ba­nyak berurusan dengan dunia seni. Di antara 12 jenis karya yang termuat pada pasal 12, yang ber­kaitan dengan wilayah aka­demik berupa karya-karya tertulis. Kemudian untuk mem­perkuat Undang-undang ter­sebut, Depdiknas (sekarang Kem­diknas) membuat beberapa surat dan Permendiknas terutama yang berkaitan dengan upaya pen­cegahan tindakan plagiat. Per­tama, Surat Dirjen Dikti no. 3298/D/T/99 tentang Upaya pen­cegahan tindakan plagiat, ke­dua Permendiknas no. 17 ta­hun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di PT, ketiga Surat Dirjen Dikti No. 1311/D/C/2010 tentang Pence­gahan dan Penanggulangan Plagiat, dan keempat Surat Dirjen Dikti No. 190/D/T/2011 tentang Validasi Karya Ilmiah
Bahkan dengan memakai mo­mentum Hari Pendidikan Na­sional, pada tanggal 4 Mei 2011, Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh beserta Pemimpin Pergu­ruan Tinggi dan Koordinator Kopertis seluruh Indonesia men­deklarasikan gerakan anti mencontek dan anti plagiat. Bisa jadi hal ini dikarenakan terdapat beberapa pemberitaan mengenai dugaan plagiasi yang dilakukan sejumlah sivitas akademika. Menurut pantauan Tempo www.tempointeraktif.com yang dirilis pada tanggal 16 April 2010, setidaknya ada empat kasus besar yang muncul ke permukaan terkait dugaan plagiasi. Kasus tersebut secara maraton terjadi pada bulan Februari 2010 (2 Februari melibatkan dosen Universitas Mataram, 4 Februari me­libatkan dosen Unpar Ban­dung, 16 Februari melibatkan do­sen Untirta dan 17 Februari yang melibatkan dua calon Pro­fesor dari Kopertis V Yogyakarta)
Dengan memanfaatkan kecang­gihan software anti-plagiat di pelbagai situs, para plagiator itu sebetulnya sudah tak mungkin bisa berkutik, sehebat apapun ia berkilah. Tulisan-tulisan yang kental dengan plagiasi akan sangat mudah terdeteksi. Kendati demikian, ketika pelbagai produk hukum yang disertai sanksi telah termaktub dan menjamurnya software pendeteksi anti-pagiat di mana-mana, mengapa kasus plagiat di kalangan akademisi selalu muncul dan tidak membuat plagiator itu kapok? Jawaban paling purna sebetulnya dikembalikan pada wilayah etika.
Akademisi Durhaka
Memahami konsep kehidupan manusia adalah belajar mema­hami prinsip-prinsip sosial yang ada di sekeliling kita. Sebagai makhluk sosial, kita tak bisa hanya sekadar hidup dan me­mentingkan ke-diri-an. Perlu ada semacam negosiasi antara kita sebagai manusia yang me­mi­liki domain pribadi dan kita yang secara alamiah mem­butuh­kan interaksi. Negosiasi menjadi kepastian di dalam proses ini karena dalam ranah tersebut ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.
Pertimbangan yang paling sering dipakai di dalam interaksi tersebut adalah etika. Siapapun orang pasti berkeinginan diberi label beretika, sebaliknya orang-orang yang dicap sebagai ma­nusia tak beretika sudah bisa di­pas­tikan akan hidup pada wila­yah marginal, sulit berbaur dengan sekelilingnya dan akan lebih sering dikelompokkan pada sifat-sifat antagonis. Pada akhir­nya, manusia yang berlabel tak beretika tersebut akan mendapat­kan istilah lain seperti orang yang tak bermoral, tak beradab dan seterusnya.
Ternyata begitu penting label etika di masyarakat kita, sehingga mau tak mau interaksi kehidupan ini sering menjadi nisbi, setengah hati dan terkadang dibuat-buat agar tampak sebagai manusia beretika yang diformulasikan dalam konsep tata krama dan atribut-atribut berpakaian. Pada tataran ini, etika ternyata tak hanya melahirkan manusia yang ber­negosiasi dengan keadaan; lebih jauh dari itu, atas dasar ketakutan terhadap cap tak beretika, etika lambat laun me­lahirkan juga manusia-manusia yang tak jujur, penuh dengan muslihat dan begitu banyak basa-basi.
Bagi manusia timur seperti kita, etika tidak hanya sebuah negosiasi dalam interaksi sosial, tetapi telah berubah menjadi se­bentuk feodalisme (posi­tivistik). Stereotipe relasi antara orangtua dan anak akan bisa ter­lihat pada kehidupan sehari-hari. Seorang anak harus patuh dan tidak boleh membantah ter­hadap segala perintah orang­tua. Sikap dan perilaku seorang anak harus terjaga. Di dalam cerita rakyat yang berkembang, seorang anak yang tidak patuh kepada orangtuanya bisa dilaknat dan diberi label sebagai anak durhaka. Hal itu tergambar di dalam cerita Malin Kundang misalnya.
Istilah durhaka yang muncul dari relasi orangtua-anak ini lebih ditekankan pada inisitaif “balas-jasa.” Seorang anak tidak boleh melupakan jasa orangtua­nya. Dalam konteks ilmu pengetahuan, seorang akademisi tidak mungkin membuat sebuah temuan atau penelitian tanpa membaca teks-teks terdahulu, sehingga memun­culkan kutipan adalah hal yang wajar untuk mem­perlihatkan proses “balas-jasa” itu.
Terkait dengan persoalan ini, sebetulnya masyarakat akademik sa­ngat terbuka dan bahkan menjadi “komunitas” penjaga etika. Munculnya plagiasi di kalangan akademik adalah dosa yang sangat besar dan sulit untuk di­ampuni. Di dalam dunia aka­demik, orang-orang yang me­la­ku­kan plagiasi adalah aka­demisi yang tidak beretika, bah­kan bolehlah kita mena­mai­nya sebagai “akademisi durhaka”
Masyarakat akademik adalah “orang-orang terpilih.” Mereka tak hanya berfungsi untuk kampusnya, tetapi juga harus memiliki kepedulian untuk menyebarkan sisi-sisi keilmuan agar masyarakat lain merasakan manfaat mereka. Munculnya dek­larasi anti plagiasi oleh Men­diknas dan diikuti oleh pelbagai Perguruan Tinggi di daerah semoga tak berhenti pada ranah sere­monial belaka karena “aka­de­misi durhaka” itu mungkin saja ada di sekeliling kita. Atau jangan-jangan si Malin Kundang itu adalah kita.
Di Posting Tanggal 09/11/2011
ANALISIS ISI
Oleh : Wardatul Ilmiah
Memalukan dan memilukan itulah kalimat yang pertama kali terbesit dalam hati ini, dan tidak bisa kita pungkiri dunia akademisi kita kental dengan plagiasme, yang seharusnya menjunjung tinggi etika malah merusak etika itu sendiri. banyaknya kasus plagiasi inilah yang memberikan identitas kepada penghuni akademisi sebagai maling beralmamater, tidak memiliki rasa menjaga dan menghormati sesama dan mencerminkan sikap tidak mau berusaha dan terima jadi.
Sikap saling menghargai dan menjaga karya orang dan mengakuinya bahkan kita jaga merupakan sikap yang sehausnya berurat dan berakar dalam diri kita. Dunia maya benyak memberikan manfaat bagi kita maka jangan salahkan ia dan jangan kotori jasanya karena ulah kita, ibarat pisau, pisau jika berada di tangan ibu rumah tangga, atau koki, maka akan memberikan manfaat yang sangat berarti, tapi jika pisau tersebut di tangn penjahat maka akan membahayakan, bukan pisau tersebut yang membehayakan melainkan manusia itu sendiri yang tidak bisa memanfaatkannya sesuai dengan fungsinya.

5 komentar:

  1. ass..., after reading the analysis, I think that analysis does'nt tell and describe what language used in the text (deskriptif / argumentatif or another language....) . So, I need you to explain your analysis clearly. trims.

    BalasHapus
  2. yes its true, thank a lot, i will repair it

    BalasHapus
  3. Good to see you all communicating via this blog. good on you, keep up good working!

    BalasHapus
  4. thank to mr herli i hope the other teacher can to use this media for our study, because it make us more spirit and easlily to study and communicated.

    BalasHapus
  5. ti pa ipul, this analys has ben corrected

    BalasHapus